Friedrich Nietzche yang selama ini dipeyoratifkan sebagai pembawa baku dari ateisme terutama dalam magnum opusnya “Also sprach Zarathustra: Ein Buch für Alle und Keinen” yang acap kali salah ditafsirkan, mengutip dari pada Roy Jakson (dalam bukunya “islam dan Nietsche”) pada kenyataannya Nietszche bukanlah pembawa baku dari pada ateisme, lelaki itu dan filsafatnya dikatak dijiwai dengan sebuah keagamaan yang mendalam mengalir dalam nadinya. Bahkan dalam diri Nietszche mempunyai keterkaitan khusus dengan identitas islami yang dipahami di dunia modern.
Friedrich Nietzsche, dalam karya-karyanya, secara eksplisit mengunakan Islam sebagai sebuah lensa analitik untuk mengidentifikasi dan mengkritik apa yang ia anggap sebagai kelemahan inheren dalam konstruksi sosial dan nilai-nilai yang mendominasi peradaban Barat modern, khususnya Kekristenan. Minatnya terhadap Islam didorong oleh persepsinya bahwa agama ini, dalam beberapa aspeknya, lebih sejalan dengan apa yang ia yakini sebagai dorongan vitalitas manusia yang sejati dan afirmasi terhadap kekuatan individu.
Nietzsche terpesona oleh apa yang ia anggap sebagai semangat hidup yang lebih kuat dalam Islam, yang menurutnya kontras dengan apa yang ia lihat sebagai nihilisme yang menyelimuti masyarakat Barat modern. Ia mengapresiasi aspek-aspek dalam Islam yang, menurut pandangannya, lebih menekankan pada kekuatan kehendak, semangat juang, dan penerimaan terhadap hierarki sosial alami. Dengan demikian, Islam menjadi semacam tolok ukur bagi Nietzsche untuk mengevaluasi dan menentang nilai-nilai egalitarian, demokratis, dan moralitas Kristen yang ia anggap melemahkan semangat manusia.
Namun, penting untuk ditekankan bahwa penggunaan Islam oleh Nietzsche sebagai alat kritik bukanlah tanpa kontroversi. Pandangannya seringkali didasarkan pada pemahaman yang terdistorsi atau stereotipikal tentang Islam, yang lebih mencerminkan proyek filosofisnya sendiri daripada studi akademik yang mendalam tentang agama tersebut. Selain itu, kritik Nietzsche terhadap Kekristenan dan modernitas Barat seringkali bersifat generalisasi dan tidak mempertimbangkan kompleksitas sejarah dan budaya yang mendasari kedua fenomena tersebut.
Salah satu kritik utama Nietzsche adalah terhadap apa yang ia sebut sebagai "nihilisme", yakni hilangnya keyakinan pada nilai-nilai metafisik dan tujuan hidup yang transenden. Ia berargumen bahwa modernitas Barat, dengan penekanannya yang berlebihan pada rasionalisme dan ilmu pengetahuan, telah mengikis fondasi moral dan spiritual yang selama ini menopang masyarakat. Nietzsche melihat nihilisme sebagai ancaman eksistensial bagi manusia, karena tanpa nilai-nilai yang kuat, individu akan terjebak dalam kekosongan dan keputusasaan.
Nietzsche juga melancarkan serangan sengit terhadap moralitas Kristen. Ia berpendapat bahwa nilai-nilai Kristen seperti kasih, pengampunan, dan kerendahan hati justru melemahkan semangat hidup manusia. Menurutnya, moralitas Kristen adalah "moralitas budak" yang menomorduakan kekuatan, kehendak, dan keunggulan individu. Sebaliknya, Nietzsche mengagumi apa yang ia anggap sebagai semangat juang dan kepahlawanan yang lebih kuat dalam tradisi non-Barat, termasuk Islam. Mengutip dari pada Roy Jakson (dalam bukunya “islam dan Nietsche”) Nilai-nilai egalitarian yang menjadi ciri khas modernitas Barat juga menjadi sasaran kritik Nietzsche. Ia menolak gagasan bahwa semua manusia dilahirkan setara, dan percaya bahwa ada hierarki alami di antara manusia. Nietzsche melihat Islam sebagai agama yang lebih mengakui perbedaan status sosial dan lebih menghargai kepemimpinan yang kuat.
Saya memiliki sebuah selera, tetapi ia tidak tergantung pada nalar, logika, dan imperatif---- nietzche
Friedrich Nietzsche, seorang filsuf yang hidup di era di mana agama masih dominan, telah meramalkan pergeseran menuju sekularisasi. Prediksinya ini menarik untuk dikaitkan dengan dinamika internal agama-agama, termasuk Islam. Meskipun Islam secara historis memiliki pengaruh yang kuat dalam berbagai aspek kehidupan, namun dinamika sosial, politik, dan intelektual yang terus berkembang telah memunculkan beragam interpretasi dan praktik keagamaan. Sekularisasi dalam konteks Islam dapat dipahami sebagai proses di mana nilai-nilai agama semakin berinteraksi dengan nilai-nilai sekuler, namun tidak serta-merta menggantikannya. Konsep ini tidak selalu bermakna penolakan terhadap agama, melainkan lebih kepada perubahan dalam cara agama dipahami dan dipraktikkan dalam konteks modern. Bagi Nietzsche, sekularisasi bukanlah sekadar proses integrasi, melainkan juga sebuah pembebasan. Ia akan berargumen bahwa agama, dengan doktrin-doktrin dan moralitasnya yang seringkali represif, telah membelenggu potensi manusia. Sekularisasi, dalam pandangannya, adalah sebuah langkah maju yang memungkinkan manusia untuk menciptakan nilai-nilai baru dan melepaskan diri dari belenggu masa lalu.
Konsep Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, yang menekankan pada keseimbangan antara nilai-nilai spiritual dan duniawi, dapat menjadi kerangka kerja yang menarik untuk memahami proses sekularisasi dalam Islam. Dalam perspektif ini, sekularisasi tidak perlu dilihat sebagai ancaman terhadap nilai-nilai Islam, melainkan sebagai peluang untuk mengintegrasikan ajaran agama dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kemanusiaan. Islam, sebagai agama yang komprehensif, memiliki kapasitas untuk beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa mengorbankan nilai-nilai fundamentalnya. Nietzsche, dengan kritiknya yang tajam terhadap agama-agama tradisional, terutama Kristen, akan melihat konsep Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam dengan skeptis. Ia akan mempertanyakan klaim universalitas dan kebenaran mutlak dari setiap agama, termasuk Islam. Nietzsche lebih cenderung melihat agama sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan psikologis dan sosial tertentu.
Pun beberapa interpretasi terhadap filsafat Friedrich Nietzsche mengindikasikan adanya kekaguman tersembunyi terhadap sosok Nabi Muhammad sebagai seorang pemimpin transformatif. Meskipun Nietzsche dikenal sebagai kritikus tajam terhadap agama-agama tradisional, sejumlah analis mencatat adanya resonansi antara gagasan-gagasan Nietzsche tentang "Übermensch" (manusia unggul) dan sosok Nabi Muhammad yang mampu memobilisasi umat serta membentuk peradaban baru. Kemampuan Nabi Muhammad dalam menciptakan kohesi sosial dan visi masa depan yang inspiratif dianggap memiliki kesamaan dengan konsep Nietzsche tentang individu yang mampu melampaui nilai-nilai konvensional.
penting untuk menekankan bahwa Nietzsche tidak melakukan pembacaan yang literal terhadap teks-teks agama. Sebaliknya, ia menggunakan agama sebagai semacam "bahan mentah" yang dapat dibentuk dan diinterpretasi ulang untuk tujuan filosofisnya. Dengan demikian, pandangan Nietzsche terhadap Islam dapat dilihat sebagai bagian dari proyek filsafatnya yang lebih luas, yaitu upaya untuk menciptakan filsafat yang mampu mengatasi nihilisme dan memberikan makna baru pada kehidupan manusia. Dalam konteks ini, Islam menjadi salah satu dari banyak sumber inspirasi yang digunakan Nietzsche untuk membangun sistem pemikirannya yang unik dan kompleks.