Fides quaerens intellectum (iman mencari pengertian) Konsep yang diperkenalkan oleh Anselmus dari Canterbury menjadi adalah sebuah konsep yang menyoroti hubungan dinamis antara iman dan akal, di mana iman menjadi titik awal bagi pencarian pemahaman yang lebih mendalam melalui penggunaan akal budi. Konsep ini merujuk pada suatu dinamika di mana iman sebagai landasan keyakinan menjadi titik awal bagi pencarian pemahaman yang lebih mendalam melalui penggunaan akal budi. Dengan kata lain, seorang individu yang beriman tidak hanya menerima ajaran agama secara pasif, tetapi juga secara aktif berusaha untuk memahami makna dan implikasi dari ajaran tersebut dengan menggunakan kemampuan berpikir rasionalnya. Implikasi dari kebebasan akal tersebut maka pandangan atas tuhan menjadi sangat beragam, terlebih akal selalu dipengaruhi kebudayaan, pendidikan, emosi, kemampuan logika, dan lain sebagainya, sehingga keberangama pemahaman ketuhanan menjadi suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindari.
Sebagai realitas absolut, Tuhan melampaui batas pemahaman manusia yang bersifat nisbi. Beliau berfungsi sebagai prinsip konkritasi yang mengorganisasi potensi-potensi menjadi eksistensi aktual. Keberadaan Tuhan, sebagai irasionalitas ultimatif, tidak dapat direduksi menjadi penjelasan rasional karena Ia sendiri merupakan fondasi bagi segala rasionalitas. Walaupun bukan realitas konkret, Tuhan adalah landasan bagi segala sesuatu yang konkret, dan hakikat-Nya yang transenden melampaui jangkauan penjelasan manapun. Ketidak terhinggaan sifat-sifat-Nya, seperti kekuasaan, pengetahuan, dan kebaikan, melampaui batas-batas konseptual manusia. Tuhan adalah sumber segala keberadaan, dan dalam Dia, segala kontradiksi dan dualitas menyatu dalam kesatuan yang sempurna. Jalaludin rumi mengambarkan relitas ketuhanan seperti samudera sedangkan manusia dengan daya serapnya seakan seperti cangkir. Karena ketidak mampuan cangkir dalam menampung air samudera maka pemahaman manusia tentang tuhan tidak akan pernah memadai dan selalu berbeda beda.
Perennialisme membedakan anatara god dan conception of god. Pemahaman manusia akan tuhan bukanlah tuhan itu sendiri. Pemahaman dalam kepala manusia akan tuhan itu sendiri beragam sedangkan Tuhan dalam realitasnya hanya satu (Saputra, 2012) pemahaman seperti ini diperlukan untuk memahami antara the one dan the many tentang tuhan, the one adalah realitas tuhan dalam dirinya sendiri, yang satu tak terbagi. Sedangkan the many adalah konsep tuhan yang ada dalam konsep kepala manusia, yang beragam dan terbagi bagi. Setaip pemeluk agama harus mengakui bahwa kemampuan akalnya memiliki keterbatasan dalam memahami tuhan yang sebenarnya. Ia hanyalah potongan kecil puzzel dari realitas gambar tuhan yang tak terbatas, sehingga tidak layak untuk mengklaim bahwa pandangannya tentang tuhan adalah yang paling benar dan sempurna, Konsep "the One" merujuk kepada realitas Tuhan sebagai entitas tunggal, tak terbagi, dan mutlak. Dalam tradisi filsafat, terutama yang dipengaruhi oleh pemikiran neoplatonisme, "the One" dianggap sebagai sumber dari segala sesuatu yang ada. Ia berada di luar waktu dan ruang, tak terjangkau oleh pemikiran dan bahasa manusia. Dalam hal ini, "the One" adalah esensi Tuhan yang tidak dapat dipisahkan dan merupakan kebenaran yang fundamental. Sebaliknya, "the Many" mencerminkan berbagai cara pemahaman dan representasi Tuhan dalam pengalaman manusia. Setiap tradisi religius, budaya, dan individu memiliki cara unik dalam menginterpretasikan konsep ketuhanan. Ini mencakup beragam atribut, karakteristik, dan pengalaman spiritual yang sering kali terdistorsi oleh konteks sosial dan kultural masing-masing. Dengan kata lain, "the Many" adalah konstruksi mental yang muncul dari keterbatasan kapasitas kognitif manusia.
Salah satu implikasi penting dari pemahaman ini adalah pengakuan akan keterbatasan akal manusia dalam memahami realitas Tuhan yang sejati. Meskipun manusia diberi kemampuan untuk berpikir rasional, akal budi tetap memiliki batasan yang inheren. Konsep ketuhanan sering kali berada di luar jangkauan pemikiran logis, karena Tuhan sebagai "the One" melampaui segala kategori dan definisi yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Oleh karena itu, setiap pandangan tentang Tuhan, terlepas dari seberapa mendalam dan validnya, hanya mencakup sebagian kecil dari gambaran yang lebih besar. Pandangan ini dapat dianalogikan dengan potongan puzzle: meskipun setiap potongan memiliki bentuk dan warna tertentu, tidak satu pun yang dapat secara utuh menggambarkan keseluruhan gambar. Dalam konteks ini, penting bagi setiap pemeluk agama untuk menyadari bahwa klaim akan kebenaran absolut tentang Tuhan tidak hanya problematis, tetapi juga berpotensi mengabaikan kerumitan dan kedalaman sifat ketuhanan.
Keterbatasan intelektual manusia sering kali menjadi sorotan dalam diskusi mengenai klaim-klaim tentang kebenaran absolut mengenai Tuhan. Konsep "God and the Conception of God" menegaskan bahwa pemahaman kita tentang Tuhan sering kali merupakan sebuah konstruk mental, yang dibentuk oleh pengalaman individu, tradisi budaya, serta konteks sosial di mana seseorang berada. Pemahaman mengenai Tuhan tidak terlepas dari faktor-faktor subjektif yang memengaruhi cara individu dan komunitas memahami realitas ketuhanan. Dalam banyak tradisi religius, para penganut diajarkan untuk menjalin hubungan pribadi dengan Tuhan. Hubungan ini, meskipun diharapkan dapat mendekatkan individu kepada Tuhan, sering kali terdistorsi oleh interpretasi yang bersifat subjektif. Dalam konteks ini, interpretasi tentang Tuhan dapat bervariasi dari satu individu atau komunitas ke komunitas lainnya, menciptakan keragaman dalam pandangan mengenai sifat dan karakter Tuhan.
Dalam pencarian pengetahuan tentang Tuhan, prinsip "fides quaerens intellectum" iman yang mencari pemahaman memiliki peranan penting. Konsep ini menunjukkan bahwa iman dan rasio tidak saling bertentangan, melainkan seharusnya saling melengkapi. Iman memberikan dorongan bagi individu untuk menggali lebih dalam, merenungkan, dan berusaha memahami sifat Tuhan. Meskipun akal manusia memiliki keterbatasan, pencarian spiritual yang tulus dapat membuka jalan menuju pemahaman yang lebih dalam tentang ketuhanan. Hal ini menciptakan ruang bagi individu untuk bertanya dan mencari jawaban, serta menumbuhkan pemahaman yang lebih kaya tentang hubungan mereka dengan Tuhan. Dalam kerangka ini, pencarian spiritual tidak hanya terbatas pada dogma atau ajaran yang telah ditentukan, tetapi lebih kepada perjalanan individu yang mengarah pada penemuan makna yang lebih dalam.
Pengakuan akan keterbatasan pemahaman manusia juga mendorong penghargaan terhadap keragaman pandangan mengenai Tuhan. Dalam dunia yang semakin terhubung, dialog terbuka antara berbagai tradisi religius menjadi semakin penting. Melalui pertukaran ide dan pengalaman, individu dapat memperkaya pemahaman mereka tentang ketuhanan dan membantu menjembatani perbedaan yang ada. Dalam pencarian kolektif akan kebenaran, setiap perspektif merupakan cerminan dari upaya yang lebih besar. Dialog ini bukan hanya sekadar saling mengemukakan argumen, tetapi juga melibatkan sikap saling menghormati dan belajar dari satu sama lain. Dengan demikian, melalui interaksi yang konstruktif, kita dapat mendekati pemahaman yang lebih holistik tentang Tuhan.
Secara keseluruhan, keterbatasan akal manusia dalam memahami Tuhan menggarisbawahi pentingnya sikap terbuka terhadap keragaman pandangan dan pengalaman religius. Dalam proses pencarian pengetahuan tentang Tuhan, prinsip "fides quaerens intellectum" menawarkan pendekatan yang menekankan sinergi antara iman dan rasio. Melalui dialog yang inklusif dan refleksi yang mendalam, kita dapat menghargai kerumitan sifat ketuhanan dan, pada akhirnya, mendekati pemahaman yang lebih utuh dan menyeluruh tentang Tuhan. Dialog antar tradisi religius tidak hanya memperkaya pengalaman spiritual kita, tetapi juga mendorong kita untuk melihat bahwa setiap perspektif, meskipun berbeda, dapat saling melengkapi dalam pencarian kebenaran yang lebih besar.